Minggu, 13 Juni 2010



Yang Perlu Diperhatikan oleh Wali

Ketika wali si wanita ddatnagi oeh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

-Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah pernah bersabda:

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melkaukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

-Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.

Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena ia malu. Abu Hurairah berkata menyampaikan hadits Rasulullah:

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah ! Bagaimana izinnya seorang gadis ?” Izinnya dengan ia diam.” Jawab Beliau.
(HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)


4. AKAD NIKAH

Akad nikah adalah perjanjaian yang berlangsung antar dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahn dari pihak pertama. Sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya:

“Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya:

“Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.

5. WALIMATUL ‘URS

Bagi yang berpandangan bahwa melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah (menurut sebagian besar ahlul ilmi), menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib. Karena adanya perintah Rasulullah kepada Abdurrahman bin Auf ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

“Selenggarakanlah walimah walaupn dengan hanya menyembelih seekor kambing.”
(HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas disebutkan:

“Tidaklah Nabi menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakkukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukahri no. 5158 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disengani tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi. Anas bin Malik berkata, “Nabi menikah dengan Shafiyyah dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagia maharnya. Beliau mengadalkan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani berkata dalam Adabuz Zaaf hal. 74: “Diriwaytkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih. Tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya ementara orang miskinnya tidak diundang maka makanan walimah tersebut terangggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah bersabda:

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebt hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.”
(HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan in idisunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping lgam di sekelilingnya –yang menimbulkan suara gemerincing-) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut.

Rasulullah bersabda:

“Pemisah antar apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.”
(HR. An-Nasa’i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 1994)

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.
(Syarhus Sunnah, 9/47-48)

Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz yang mengisahkan kehadiran Rasulullah dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian batil atau memainkan alat-alat musik. Karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah, ia berkata:

“Adalah Nabi bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

6. SETELAH AKAD

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disengani baginya untuk melakukan bebrapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dari kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya. Sebagaiman berita dari Aisyah (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disengani baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma bintu Yazid bin As-Sakan, ia berkata,

“Aku mendandani Aisyah untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.”
Asma pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah. Aisyah pun engambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut...”

Keempat: Mendoakan keberkahan bagi istrinya.
Sebagaimana yang dipesankan Rasulullah:

“...maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah, mendoakan keberkahan dan mengatakan: “Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia atasnya dan aku belindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan /tabiatkan dia atasnya.”
(HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi, di antar mereka ada Ibnu Mas’ud , Bu Dzar, dan Hudzaifah. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimani. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju.

Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalaltlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu...” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: